google-site-verification: google314e099c36007d9d.html

Minggu, 17 Januari 2016

BENARKAH KURIKULUM 2013 MENGEKPLOITASI ANAK

<!-- Google Tag Manager --> STRATEGI BELAJAR
<br />

Kurikulum Sisdiknas Wujud Eksploitasi Anak 4.1 Bentuk Penyimpangan UU Perlindungan Anak. Akibat sistem dan proses yang salah, anak secara tak langsung tereksploitasi tenaga, jiwa, waktu, perasaan dan kreativitasnya. Sehingga anak kehilangan haknya sebagai seorang anak. Dengan ketatnya kurikulum yang sekarang, terjadi ketidaksesuaian terhadap UU Perlindungan anak Bab III Pasal 4 dan 11, baik yang terjadi di pemerintahan maupun di masyarakat. Ketidaksesuaian/penyimpangan tersebut diantaranya adalah : Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang SKL (Standar Kompetensi Kelulusan), dikatakan bahwa SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan.8 Hal ini mengacu pada tujuan kurikulum lama yaitu : • Anak diharapkan mempunyai kemampuan yang sama (Dengan acuan Standar Kompetensi). • Pendidik berorientasi pada hasil bukan proses. Berarti Kurikulum kita berorientasi akademik, yang hanya bisa diikuti 15-20% siswa terpandai saja.
Hal ini menimbulkan inisiatif orangtua untuk memberikan les ini-itu pada anaknya (Misalnya, les matematika, sempoa, Inggris,Mandarin, musik, tari dll) yang sesungguhnya anak tersebut berada pada fase pembelajaran lingkungan sesuai dengan naluri minat bakatnya sendiri. Apalagi terlalu tegas batasan sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh si anak akan menghambat perkembangan anak sesuai dengan alamnya. Biarlah anak belajar dari alam sehingga pemahaman konsep akan lebih mudah diserap.
Bila kebijakan orangua terlalu jauh, anak akan menjadi "manusia robot" yang tidak berhati, berbudi, emosi tak stabil,arogan dan matang sebelum waktunya, karena masa dimana mereka seharusnya belajar dengan alam telah direnggut oleh suatu sistem. Sistem tersebut membentuk anak menjadi seseorang yang bukan dirinya. Anak telah hidup, tumbuh berkembang secara tak wajar. Berarti tidak sesuai UURI No.23 Tahun 2002 Pasal 4, "bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh berkembang secara wajar sesuai harkat martabat kemanusiaan…". Hal ini juga berarti tak sesuai dengan nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila yaitu nilai moral dan keadilan (sila ke II dan V).
 Demikian halnya telah terjadi ketidaksesuaian dengan Pasal 11, "bahwa anak berhak beristirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan sebaya, berkreasi sesuai minat bakat dan tingkat kecerdasannya", Namun realita yang terjadi di masyarakat modern seperti sekarang, mana ada anak yang memiliki waktu luang beristirahat atau bermain dengan teman sebayanya?waktu anak habis untuk tugas sekolah, pr, les sepulang sekolah, les privat, pelajaran tambahan, dll. Ketika anak akan bermain bersama teman, orangtua melarang dan menghukumnya. Akibatnya, sekarang mana ada generasi muda kita yang memiliki hati yang bersih, rasa kerjasama yang tinggi, ramah tamah dan cinta kasih kepada sesama, peduli pada lingkungan dan dapat menyelesaikan masalah dalam hidup?Alih-alih berbudi luhur, sedikit mengalami masalah, narkoba jadi pelarian. Masalah menjadi berat, bunuh diri jadi jalan pintas. Habisnya waktu anak di sekolah dan kegiatan semacamnya tak memberikan anak kesempatan untuk bergaul dengan keluarga dan teman sebaya (mengasah emosi) dan kesempatan untuk belajar agama pun tak ada (mengasah spiritual).
 Berikut merupakan contoh proses pendidikan yang ada di masyarakat, yang telah membatasi kreativitas, pola pikir dan pemahaman moral terhadap anak5 : • Kegiatan di luar kelas terbatas dan dianggap mengganggu waktu pelajaran. • Waktu yang tersedia untuk berlatih keterampilan sosial sedikit karena anak duduk diam dan mengerjakan tugas secara individu. • Guru memberikan motivasi dengan penghargaan dan hukuman (menempatkan diri mereka dalam peran sebagai musuh anak) • Guru mengutamakan nilai dalam evaluasi anak, sehingga anak lebih berorientasi pada nilai tinggi bukan pemahaman konsep. • Guru menggunakan kata-kata untuk melabel anak : malas, bodoh, penakut, tukang nyontek dll. • Anak diklasifikasikan sesuai kepandaian dan ranking. • Kelas lebih dari 25 anak ditangani seorang guru adalah hal biasa. • Kesehatan diajarkan dengan metode ceramah poster. Proses pendidikan seperti itu menunjukkan bahwa kurikulum kita ibarat mendidik seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral/emosi dan spiritual adalah bagaikan mendidik marabahaya kepada masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa kurikulum kita telah menyimpang dari nilai-nilai luhur pancasila, yaitu nilai moral, nilai religi, dan nilai keadilan (sila ke I, II dan V)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar