google-site-verification: google314e099c36007d9d.html

Minggu, 13 Maret 2016

SEJARAH DIPONEGORO



Sejarah Dipongeoro
 
Para pahlawan Islam adalah mereka yang telah mengorbankan apa yang sangat mereka cintai demi tegaknya sebuah kebenaran yang mereka yakini. Para pahlawan ini telah memberikan teladan yang tinggi dalam kehidupan. Disaat paham materialisme dan pragmatisme mengerogoti lembaga-lembaga pendidikan, maka pemahaman yang benar terhadap para pahlawan Islam -- yang juga diakui juga sebagai pahlawan nasional Indonesia – sangatlah penting untuk dapat meneladani sikap dan perjuangan mereka serta menjadikan para anak didik memiliki adab yang baik. Sayangnya, hal ini masih belum banyak terjadi, sebab adanya kesalahan dalam pengajaran sejarah. Kasus pengajaran tentang Pangeran Diponegoro dan RA Kartini dapat kita jadikan satu contoh.

 

Di sejumlah lembaga pendidikan Islam, saya mengedarkan daftar pertanyaan kepada para guru, santri, dan murid, untuk dijawab: SETUJU ATAU TIDAK. Salah satu pertanyaan itu berbunyi sebagai berikut: ”Pangeran Diponegoro berperang melawan Belanda karena kecewa tanah leluhurnya dirampas oleh Belanda dan tahta Kerajaan Mataram tidak diserahkan kepada dirinya, tetapi diserahkan oleh Belanda kepada adiknya.”
 
Ternyata, banyak yang menjawab SETUJU. Jawaban itu tidak mengejutkan, sebab memang sesuai dengan materi buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, termasuk sekolah dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Padahal, faktanya, Diponegoro adalah pahlawan Islam. Diponegoro adalah mujahid yang terkenal dengan pakaian jubah dan sorbannya. Unsur-unsur ”ruh Islam” inilah yang tampak dihilangkan dalam banyak materi pendidikan sejarah. Karena kasus Pangeran Diponegoro ini perlu disimak.
 
Pada jurnal Islamia-Republika, edisi 15 Oktober 2009, dimuat sebuah artikel menarik berjudul ”DIPONEGORO PANGERAN SANTRI PENEGAK SYARIAT”. Artikel itu ditulis oleh Ir. Arif Wibowo, peserta Program Kader Ulama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Artikel itu membuka kembali wacana penting dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia, bahwa Pangeran Diponegoro bukanlah pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda semata-mata karena urusan tanah atau tahta. Tapi, Pengeran Diponegoro adalah pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang mendalami serius agama Islam, dan kemudian melawan penjajah Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah. Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan kenikmatan duniawi demi mewujudkan sebuah cita-cita luhur, tegaknya Islam di Tanah Jawa.
 
Berikut ini kita sajikan secara utuh tulisan yang menarik tentang Diponegoro tersebut:
 
Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur.
 
Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan, bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I,
bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.
 
Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.
 
Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo.
 
Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29)
 

Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar