google-site-verification: google314e099c36007d9d.html

Kamis, 10 Maret 2016

Keterkaitan antara ilmu dan kebahagiaan

Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab
Dalam bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan”. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: ”Senangkanlah hatimu!”
Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
"Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit....”

”Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...””Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu
”Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, bahagia. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Tapi, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Masalah demi masalah membelitnya.
Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan!
Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan!
Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan!
Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran
Dan sangkaan-sangkaan lain...


Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang! Lalu, apakah itu ”bahagia” (sa’adah/happiness).
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya temporal dan kondisional. Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.” Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:
”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: ”Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair: (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda; Tetapi, takwa akan Allah itulah bahagia).
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah swt. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
”Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.”


Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan , bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ”ayat”, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.


Disamping ayat-ayat kauniyah, Allah swt juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa ”Tiada tuhan selain Allah”, dan bersaksi bahwa ”Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah swt adalah Islam.” Risalah kenabian Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.


Inilah yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Setiap peserta didik harus besungguh-sungguh untuk memahami ilmu yang benar dan bermujahadah untuk meraih kebahagiaan yang hakiki; kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta’dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.


Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh setiap keadaan. Dalam kondisi apa pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah mengenal Allah, ridha dengan keputusan Allah, dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.


Dalam kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam kebahagiaan. Fa laa khaufun ’alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat.
Salah satu pilar kebahagiaan hakiki bagi seorang mukmin adalah pemahaman dan keyakinannya terhadap kehidupan akhirat. Orang yang yakin dengan kehidupan akhirat, yang memiliki dimensi akhirat dalam pandangan hidupnya, pasti akan berbeda dengan orang materialis, yang melihat kehidupan hanya kehidupan dunia saja. Seorang yang yakin dengan akhirat, akan tenang hidupnya, saat mjenerima musibah. Ia yakin, semua itu adalah ujian dari Allah.
Seorang yang tidak mempunyai keturunan, akan sadar, bahwa dia tidak mempunyai anak adalah keputusan Allah. Justru, di akhirat, orang yang tidak mempunyai anak, akan lebih ringan perhitungannya (hisabhnya), sebab dia tidak bertanggung jawab atas soal anak. Orang miskin yang hidupnya pas-pasan bisa merasa tidak terlalu sedih jika ia ingat akhirat. Sebab, di akhirat, justru orang-orang kaya yang akan berat perhitungannya. Ia harus menjawab pertanyaan dari mana dia dapat harta dan untuk apa saja hartanya dia gunakan.
Semakin banyak nikmat diberikan oleh Allah kepada seseorang di dunia, maka semakin berat pula tanggung jawabnya di akhirat. Karena itu, sungguh aneh, banyak orang yang mengejar dunia sampai mengorbankan agamanya. Sungguh aneh, orang mau mengejar kekuasaan sampai melakukan kejahatan penipuan, padahal setelah berkuasa, ia belum tentu bahagia. Bahkan, banyak orang kuasa yang akhirnya tertimpa derita, dihujat rakyatnya. Masalah yang ditanggungnya semakin berat. Itu baru di dunia, di akhirat, semakin tinggi kedudukan penguasa, semakin berat pula tanggung jawabnya.
Karena itulah, iman yang kuat akan kehidupan akhirat juga menjadi landasan yang kokoh satu kehidupan bahagia di dunia. Iman yang kokoh akan didapatkan melalui ilmu yang benar, yakni ilmu yang mengantarkan pada satu keyakinan. Ilmu semacam ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan yang benar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar