Membentuk
Manusia Berkarakter dan Beradab
Dalam
bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya
Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan”. Artikel itu diindonesiakan dengan judul:
”Senangkanlah hatimu!”
Dalam
kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan
pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
"Kalau
engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan
untuk mengerjakan yang sulit-sulit....”
”Dan
jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah
terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa
orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki
kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...””Kalau engkau dilupakan orang,
kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu! Karena lidah tidak banyak yang
mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu
”Kalau
tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan
dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang
diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”
Kondisi
senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh
manusia. Manusia ingin bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, bahagia. Tapi,
apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan
bekerja keras untuk menghimpun harta. Tapi, setelah harta melimpah ruah,
kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa
bahagia, justru membuatnya resah. Masalah demi masalah membelitnya.
Sebagian
orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah
mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama
kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Ada yang mengejar kebahagiaan pada
tahta, kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab,
kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang
dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana
dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.
Orang
sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan!
Orang
miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan!
Rakyat
jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan!
Orang
biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran
Dan
sangkaan-sangkaan lain...
Tapi,
sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan
duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah
sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang
hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal
yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat
penenang! Lalu, apakah itu ”bahagia” (sa’adah/happiness).
Selama
ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan.
Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai:
”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.”
Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia,
dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada
kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut
pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia.
Kebahagiaan itu sifatnya temporal dan kondisional. Prof. Naquib al-Attas
menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: “Mereka senantiasa
dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap
dalam suatu keadaan.” Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus.
Berbeda
dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan
(sa’adah/happiness) sebagai berikut:
”Kesejahteraan”
dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan,
bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan
akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali
belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan
Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang
yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu
berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na
Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002),
pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi,
kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan
berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia
dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu
Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk
setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Imam
al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: ”Bahagia
dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah,
seorang ahli syair, menggubah sebuah syair: (Menurut pendapatku, bukanlah
kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda; Tetapi, takwa akan Allah itulah
bahagia).
Menurut
al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai
”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah swt. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
”Ketahuilah
bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan
kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing.
Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga
mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh
manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati
itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat
gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik
berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja
berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih
dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud
ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang
lebih lezat daripada ma’rifatullah.”
Ma’rifatullah
adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan ,
bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk
dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya,
dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan
memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri.
Alam semesta ini adalah ”ayat”, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka,
celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.
Disamping
ayat-ayat kauniyah, Allah swt juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu
verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu,
dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah
orang-orang yang bersaksi bahwa ”Tiada tuhan selain Allah”, dan bersaksi bahwa
”Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah swt adalah Islam.” Risalah kenabian
Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Inilah
yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan.
Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu
mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki
dan abadi. Setiap peserta didik harus besungguh-sungguh untuk memahami ilmu
yang benar dan bermujahadah untuk meraih kebahagiaan yang hakiki; kebahagiaan
yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang
harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta’dib)
berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari
berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan
Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan
manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang
Pencipta.
Manusia-manusia
yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan;
yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh setiap keadaan. Dalam kondisi apa
pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah mengenal Allah, ridha dengan keputusan
Allah, dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah
yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Dalam
kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam
kebahagiaan. Fa laa khaufun ’alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya
mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia
terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan
akhirat.
Salah
satu pilar kebahagiaan hakiki bagi seorang mukmin adalah pemahaman dan
keyakinannya terhadap kehidupan akhirat. Orang yang yakin dengan kehidupan
akhirat, yang memiliki dimensi akhirat dalam pandangan hidupnya, pasti akan
berbeda dengan orang materialis, yang melihat kehidupan hanya kehidupan dunia
saja. Seorang yang yakin dengan akhirat, akan tenang hidupnya, saat mjenerima
musibah. Ia yakin, semua itu adalah ujian dari Allah.
Seorang
yang tidak mempunyai keturunan, akan sadar, bahwa dia tidak mempunyai anak
adalah keputusan Allah. Justru, di akhirat, orang yang tidak mempunyai anak,
akan lebih ringan perhitungannya (hisabhnya), sebab dia tidak bertanggung jawab
atas soal anak. Orang miskin yang hidupnya pas-pasan bisa merasa tidak terlalu
sedih jika ia ingat akhirat. Sebab, di akhirat, justru orang-orang kaya yang
akan berat perhitungannya. Ia harus menjawab pertanyaan dari mana dia dapat
harta dan untuk apa saja hartanya dia gunakan.
Semakin
banyak nikmat diberikan oleh Allah kepada seseorang di dunia, maka semakin
berat pula tanggung jawabnya di akhirat. Karena itu, sungguh aneh, banyak orang
yang mengejar dunia sampai mengorbankan agamanya. Sungguh aneh, orang mau
mengejar kekuasaan sampai melakukan kejahatan penipuan, padahal setelah berkuasa,
ia belum tentu bahagia. Bahkan, banyak orang kuasa yang akhirnya tertimpa
derita, dihujat rakyatnya. Masalah yang ditanggungnya semakin berat. Itu baru
di dunia, di akhirat, semakin tinggi kedudukan penguasa, semakin berat pula
tanggung jawabnya.
Karena
itulah, iman yang kuat akan kehidupan akhirat juga menjadi landasan yang kokoh
satu kehidupan bahagia di dunia. Iman yang kokoh akan didapatkan melalui ilmu
yang benar, yakni ilmu yang mengantarkan pada satu keyakinan. Ilmu semacam ini
hanya bisa diperoleh melalui pendidikan yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar