Senin, 24 Juli 2017
Rekonstruksi Pembelajaran Student Centered
<
Pola pembelajaran yang selama ini dipakai didalam dunia
pendidikan sudah mengalami pergeseran, dalam perkuliahan misalnya siswa selam
ini hanya mendengarkan penjelasan dari guru, siswa bertanya guru menjawab dan
begitu juga sebaliknya, akhirnya dengan pola pembelajaran yang seperti itu siswa
menjadi tumpul pemikirannya, sehingga dia tidak dapat atau sukar untuk berpikir
lebih jauh atau berkreatifitas dengan hal-hal yang lain karena ia hanya terpaku
pada guru. untuk menghindari hal tersebut, guru harus pintar-pintar mencari
solusi agar siswa dapat mencapai pengetahuan yang lebih dari apa yang ia
inginkan secara labih luas, yaitu kalau selama ini pola pembelajaran berbasis
teacher center, maka sekarang harus diubah dengan pola pembelajaran student
center, yaitu pola pembelajaran yang berpusat pada diri siswa. Dengan pola
student center ini diharapkan siswa akan dapat mengembangkan model-model
pembelajaran lain yang selama ini belum pernah ia dapatkan pada pola
pembelajaran sebelumnya.
Secara historis-faktual sampai saat ini, pola pembelajaran
di lembaga-lembaga pendidikan Islam masing sangat kental dengan nuansa
pendekatan pembelajaran yang berbasis teacher center dimana proses
pembelajaran lebih berpusat pada guru. Out put yang dihasilkan oleh pendekatan
belajar seperti ini tidak lebih hanya menghasilkan siswa yang kurang mampu
mengapresiasi ilmu pengetahuan, takut berpendapat, tidak berani mencoba yang
akhirnya cenderung menjadi siswa yang pasif dan miskin kreativitas. Model siswa
seperti inilah yang sampai saat ini sering kita lihat di ruang-ruang ruang belajar di sekolahkita, yakni peserta
didik yang kurang kreatif dan terkesan pasif.
Pola pembelajaran yang bersifat teacher centered ini
dibangun atas dasar pada model pembelajaran komando atau banking learning
concept. Pembelajaran model bank ini lebih memposisikan siswa seperti bank dan guru
sebagai person yang mendeposit uang ke dalamnya.
Dikotomi model pembelajaran
gaya bank selalu bertolak belakang antara posisi guru dan peserta didik, yakni
jika guru ceramah siswa mendengarkan dengan tekun, guru bertanya siswa
menjawab, guru mengerti semua siswa tidak tahu apa-apa, guru mendiktekan teks siswa
mencatat, guru pandai siswa bodoh, guru sebagai subjek siswa sebagai objek, guru
membuat program belajar siswa menerima program, dan seterusnya.
Dengan kata
lain, pembelajaran sebagaimana yang populer disebut Freire dengan istilah Bank
System ini berangkat dari asumsi bahwa siswa ibarat bejana kosong atau kertas
putih. Guru atau pengajarlah yang harus mengisi bejana tersebut atau menulis
apapun di kertas putih tersebut
Konsep ini selanjutnya mewujud dalam model pendidikan satu
arah, yang anti dialog dan anti kekritisisan. Guru berbicara, dan tugas para siswa
adalah diam mendengarkan. Jikapun kemudian bertanya, pertanyaan itu mesti
menunjukkan bahwa ia adalah sosok bodoh yang mesti diterangkan berkali-kali
supaya bisa mengerti. Ajuan pertanyaan yang berpeluang membongkar kebenaran
versi sang guru, bisa dipandang bagian dari tindak pembangkangan. Maka kemudian
berkembanglah apa yang disebut dengan budaya bisu dan budaya diam.
Cara pandang seperti itu kini mulai ditinggalkan seiring
dengan munculnya kesadaran yang makin kuat di dunia pendidikan bahwa proses
belajar mengajar akan lebih efektif apabila peserta didik secara aktif
mengalami, menghayati, dan menarik pelajaran dari pengalamannya itu, dan pada
gilirannya hasil belajar akan merupakan bagian dari diri, perasaan, pemikiran
dan pengalamannya. Hasil belajar kemudian akan lebih melekat, dan tentu saja,
dalam proses seperti itu peserta didik
didorong dan dikondisikan untuk lebih
kreatif.
Kesadaran baru ini dianggap lebih manusiawi karena tidak
lagi melihat siswa atau warga belajar sebagai bejana kosong atau kerta putih.
Pandangan ini menganggap peserta didik atau warga belajar sebagai manusia yang
memiliki pengalaman, pengetahuan, perasaan, keyakinan, cita-cita, kesenangan,
dan keterampilan. Oleh karena itu, pengalaman mereka harus dihargai dan
diangkat dalam proses dan aktivitas
pembelajaran di kelas. Hal ini juga berimplikasi terhadap perlunya strategi
pembelajaran yang interaktif, baik antara siswa dengan guru maupun antar siswa.
Fenomena yang tampak di ruang-ruang kelas di lembaga
pendidikan kita, sampai saat ini terdapat realitas bahwa mayoritas guru masih
asyik dan enjoy dengan pola pembelajaran konvensional dan terkesan belum memiliki kemampuan untuk
mengaplikasikan varian metodologi pembelajaran aktif yang bernuansa
mengaktifkan para siswa (active learning). Melihat kenyataan demikian, maka
menurut hemat penulis tidak dapat ditawar lagi dan merupakan keniscayaan untuk
segera melakukan langkah-langkah pengembangan kompetensi guru pada wilayah
kajian epistemologis-metodologis tentang pembelajaran yang berbasis kepada
student center (student-centered learning).
terima kasih telah membaca artikel ini yang disadur dari tulisan Prof.Kasinyo harto.( dekan Fakultas Tarbiyah UIN Raden Fatah Palembang ) semoga bermanfaat untuk para pembaca terutama orang yang berkecimpung di dunia pendidikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar