google-site-verification: google314e099c36007d9d.html

Senin, 24 Juli 2017

Rekonstruksi Pembelajaran Student Centered

< Pola pembelajaran yang selama ini dipakai didalam dunia pendidikan sudah mengalami pergeseran, dalam perkuliahan misalnya siswa selam ini hanya mendengarkan penjelasan dari guru, siswa bertanya guru menjawab dan begitu juga sebaliknya, akhirnya dengan pola pembelajaran yang seperti itu siswa menjadi tumpul pemikirannya, sehingga dia tidak dapat atau sukar untuk berpikir lebih jauh atau berkreatifitas dengan hal-hal yang lain karena ia hanya terpaku pada guru. untuk menghindari hal tersebut, guru harus pintar-pintar mencari solusi agar siswa dapat mencapai pengetahuan yang lebih dari apa yang ia inginkan secara labih luas, yaitu kalau selama ini pola pembelajaran berbasis teacher center, maka sekarang harus diubah dengan pola pembelajaran student center, yaitu pola pembelajaran yang berpusat pada diri siswa. Dengan pola student center ini diharapkan siswa akan dapat mengembangkan model-model pembelajaran lain yang selama ini belum pernah ia dapatkan pada pola pembelajaran sebelumnya.


Secara historis-faktual sampai saat ini, pola pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam  masing sangat kental dengan nuansa  pendekatan pembelajaran yang berbasis teacher center dimana proses pembelajaran lebih berpusat pada guru. Out put yang dihasilkan oleh pendekatan belajar seperti ini tidak lebih hanya menghasilkan siswa yang kurang mampu mengapresiasi ilmu pengetahuan, takut berpendapat, tidak berani mencoba yang akhirnya cenderung menjadi siswa yang pasif dan miskin kreativitas. Model siswa seperti inilah yang sampai saat ini sering kita lihat di ruang-ruang   ruang belajar di sekolahkita, yakni peserta didik yang kurang kreatif dan terkesan pasif.

Pola pembelajaran yang bersifat teacher centered ini dibangun atas dasar pada model pembelajaran komando atau banking learning concept. Pembelajaran model bank ini lebih memposisikan siswa seperti bank dan guru sebagai person yang mendeposit uang ke dalamnya.


 Dikotomi model pembelajaran gaya bank selalu bertolak belakang antara posisi guru dan peserta didik, yakni jika guru ceramah siswa mendengarkan dengan tekun, guru bertanya siswa menjawab, guru mengerti semua siswa tidak tahu apa-apa, guru mendiktekan teks siswa mencatat, guru pandai siswa bodoh, guru sebagai subjek siswa sebagai objek, guru membuat program belajar siswa menerima program, dan seterusnya.

Dengan kata lain, pembelajaran sebagaimana yang populer disebut Freire dengan istilah Bank System ini berangkat dari asumsi bahwa siswa ibarat bejana kosong atau kertas putih. Guru atau pengajarlah yang harus mengisi bejana tersebut atau menulis apapun di kertas putih tersebut  

Konsep ini selanjutnya mewujud dalam model pendidikan satu arah, yang anti dialog dan anti kekritisisan. Guru berbicara, dan tugas para siswa adalah diam mendengarkan. Jikapun kemudian bertanya, pertanyaan itu mesti menunjukkan bahwa ia adalah sosok bodoh yang mesti diterangkan berkali-kali supaya bisa mengerti. Ajuan pertanyaan yang berpeluang membongkar kebenaran versi sang guru, bisa dipandang bagian dari tindak pembangkangan. Maka kemudian berkembanglah apa yang disebut dengan budaya bisu dan budaya diam.      

Cara pandang seperti itu kini mulai ditinggalkan seiring dengan munculnya kesadaran yang makin kuat di dunia pendidikan bahwa proses belajar mengajar akan lebih efektif apabila peserta didik secara aktif mengalami, menghayati, dan menarik pelajaran dari pengalamannya itu, dan pada gilirannya hasil belajar akan merupakan bagian dari diri, perasaan, pemikiran dan pengalamannya. Hasil belajar kemudian akan lebih melekat, dan tentu saja, dalam proses seperti  itu peserta didik didorong dan dikondisikan untuk lebih  kreatif.

Kesadaran baru ini dianggap lebih manusiawi karena tidak lagi melihat siswa atau warga belajar sebagai bejana kosong atau kerta putih. Pandangan ini menganggap peserta didik atau warga belajar sebagai manusia yang memiliki pengalaman, pengetahuan, perasaan, keyakinan, cita-cita, kesenangan, dan keterampilan. Oleh karena itu, pengalaman mereka harus dihargai dan diangkat  dalam proses dan aktivitas pembelajaran di kelas. Hal ini juga berimplikasi terhadap perlunya strategi pembelajaran yang interaktif, baik antara siswa dengan guru maupun antar siswa.

Fenomena yang tampak di ruang-ruang kelas di lembaga pendidikan kita, sampai saat ini terdapat realitas bahwa mayoritas guru masih asyik dan enjoy dengan pola pembelajaran konvensional  dan terkesan belum memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan varian metodologi pembelajaran aktif yang bernuansa mengaktifkan para siswa (active learning). Melihat kenyataan demikian, maka menurut hemat penulis tidak dapat ditawar lagi dan merupakan keniscayaan untuk segera melakukan langkah-langkah pengembangan kompetensi guru pada wilayah kajian epistemologis-metodologis tentang pembelajaran yang berbasis kepada student center (student-centered learning).

terima kasih telah membaca artikel ini yang disadur dari tulisan Prof.Kasinyo harto.( dekan Fakultas Tarbiyah UIN Raden Fatah Palembang ) semoga bermanfaat untuk para pembaca terutama orang yang berkecimpung di dunia pendidikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar