google-site-verification: google314e099c36007d9d.html

Rabu, 26 Juli 2017

Beberapa pendekatan pembelajaran menuju student-centered learning

Beberapa pendekatan pembelajaran sebagai lternatif  tawaran menuju  student-centered learning
Beberapa tahun terakhir dunia pembelajaran di indonesia diperkenalkan dengan berbagai model pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada nuansa pemberian pengalaman belajar peserta didik dengan dominasi keaktifan lebih berada pada sisi peserta didik, bukan pada dominasi guru. 

Model pendekatan pembelajaran seperti quantum teaching, active learning,  cooperative learning,  contextual teaching and learning, dan lain-lain adalah loncatan perkembangan terbaru yang penting untuk dicermati oleh para guru. Pendekatan pembelajaran lama yang kering nuansa dan cenderung belum diorientasikan untuk menyenangkan peserta didik dan sering terkesan membosankan, tegang dan kurang rileks, agaknya perlu dipertimbangkan untuk diganti dengan pendekatan-pendekatan baru seperti yang ditawarkan pada konsep activel learning dan quantum learning.


Pertama, active learning,  apa yang dipikirkan ketika mendengar istilah “belajar aktif”? Banyak orang berpikir bahwa belajar aktif adalah membuat peserta didik beraktifitas, bergerak, dan  melakukan sesuatu dengan aktif. Salah satu indikator pentingnya  aktif adalah situasi kelas yang ramai bergemuruh, sementara guru lebih santai. Mungkin juga ada yang berpikir aktif menggunakan otak.

                belajar aktif merupakan sebuah kesatuan sumber kumpulan strategi-strategi pembelajaran yang komprehensif, yang meliputi berbagai cara untuk membuat peserta didik aktif sejak awal melalui aktivitas-aktivitas yang membangun kerja kelompok dan dalam waktu singkat membuat mereka berpikir tentang materi pelajaran. Juga terdapat tehnik-tehnik memimpin belajar bagi seluruh kelas, bagi kelompok kecil, merangsang diskusi dan debat, mempraktekkan keterampilan-keterampilan, mendorong adanya pertanyaan-pertanyaan, bahkan membuat peserta didik saling mengajar satu sama lain.

                belajar aktif sangat diperlukan oleh peserta didik untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika peserta didik pasif, atau hanya menerima apa yang disampaikan guru, ada kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah disampaikan. Dengan begitu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengikat informasi yang baru diterima dari guru. Belajar aktif adalah salah satu alternatif untuk mengikat informasi yang baru kemudian menyimpannya dalam otak.  Belajar yang hanya mengandalkan indera pendengaran tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. 

                dalam kaitan ini misalnya, mel silberman dalam karyanya active learning, 101  strategi to teach any s ubject, mengawali tulisannya dengan mengutif kata-kata bijak konfusius, seorang filosof cina yang hidup lebih dari 2400 tahun lalu:
                “apa yang saya dengar saya lupa.
                apa yang saya lihat saya ingat.
                apa yang saya kerjakan saya paham.”
                tiga pernyataan sederhana ini membicarakan bobot penting belajar aktif.
                ungkapan filosof itu dikembangkan oleh mel silberman menjadi apa yang disebut dengan active learning credo:
                “apa yang saya dengar saya lupa.
                apa yang saya dengar dan lihat saya ingat sedikit.
Apa yang saya dengar, lihat, dan saya diskusikan,  saya mulai paham.
Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan saya peroleh pengetahuan dan keterampilan.
Apa yang saya ajarkan kepada orang lain saya kuasai.” (silberman, 1996).
Secara implisit mel silberman ingin menunjukkan bahwa belajar lebih bermakna dan bermanfaat apabila siswa menggunakan semua alat indra, mulai dari telinga, mata, sekaligus berpikir mengolah informasi dan ditambah dengan mengerjakan sesuatu. Dengan mendengarkan saja, kita tidak dapat mengingat banyak dan akan mudah lupa.

Ada banyak  alasan mengapa orang cenderung lupa terhadapa apa yang  mereka dengar. Salah satu alasan yang paling menarik adalah berkaitan dengan jumlah kata yang diucapkan oleh seorang guru dan kemampuan mendengar peserta didik. Sebagian besar guru rata-rata mengucapkan kurang lebih antara 100 sampai 200 kata per menit. Jumlah kata yang didengar oleh peserta didik sangat tergantung pada bagimana cara ia mendengar. Kalau ia mendengarkan dengan penuh konsentrasi peserta didik mungkin dapat mendengarkan 50 sampai 100 kata dalam setiap menitnya, atau setengahnya dari yang dikatakan oleh guru. Hal itu disebabkan oleh mereka berpikir keras sambil mendengar. 

Oleh karena itu, peserta didik akan merasa kesulitan mendengarkan pelajaran dari guru yang banyak bicara, apalagi bicara dengan tempo yang cepat.
Kemungkinan lain peserta didik tidak mendengarkan dengan penuh konsentrasi karena keterbatasan kemampuan manusia untuk berkonsentrasi secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu walaupun materi yang disampaikan menarik. Ketika mendengarkan seorang guru yang berbicara dengan tempo yang lambat, sangat mungkin peserta didik akan merasaa bosan dan jenuh, dan pikiran mereka mulai menerawang ke mana-mana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik dalam ruang kelas mampu memperhatikan dan berkonsentrasi penuh kurang lebih sekitar 60% dari waktu yang tersedia (pollio, 1984). Lebih lanjut peserta didik mampu mengingat mencapai 70% informasi yang sampaikan oleh guru pada 10 menit pertama, tetapi pada 10 menit terakhir mereka hanya mampu mengingat 20% dari materi yang disampaikan (mckeachie, 1986).
Studi lain menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik hanya mendengar akan menimbulkan beberapa masalah sebagai berikut:
1.            Perhatian peserta didik berkurang seiring dengan berlalunya  waktu.
2.            Hanya menarik dan cocok bagi siswa auditory
3.            Cenderung mengarah pada tingkat belajar rendah dari informasi faktual.
4.            Ini mengasumsikan bahwa siswa memerlukan informasi yang sama dan pada langkah yang sama.
5.            Mahaiswa cenderung tidak menyukai (johnson & smith, 1991).

Dengan menambahkan visual pada pelajaran menaikkan ingatan dari 14% ke 38% (pike, 1989). Penelitian itu juga menunjukkan perbaikan sampai 200% ketika kosa kata diajarkan dengan menggunakan  alat visual. Bahkan, waktu yang diperlukan untuk menyampaikan konsep berkurang sampai 40% ketika visual digunakan untuk menambahkan presentasi verbal. Sebuah gambar barangkali tidak bernilai ribuan kata, namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja.

Karena mengajar menyangkut dua dimensi (pendengaran dan penglihatan), pesan yang disampaikan hendaknya diperkuat dengan dua sistem penyampaian. Meskipun demikian, sebagian siswa lebih menyenangi satu bentuk penyampaian dibandingkan dengan bentuk yang lain. Dengan menggunakan keduanya kita memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Akan tetapi, dengan hanya mendengarkan atau melihat, tidak berarti proses belajar telah sempurna. Sampai di sini kita dapat mengenal beberapa aspek yang berkaitan dengan belajar aktif.
Kedua, quantum learning, asas utama sistem pengajaran quantum: “bawalah dunia peserta didik ke dunia kita (guru) dan antarkan dunia kita ke dunia mereka (peserta didik)”, menyiratkan filosofi pembelajaran yang saling mengisi dan melengkapi antara kepentingan dan kebutuhan peserta didik dengan idealisme guru dalam menanamkan pesan-pesan pendidikan kepada peserta didik. Sangat kuat nuansa demokratis dalam proses pembelajaran dimana guru tidak akan pernah memaksa kepentingan dan idealismenya kepada peserta didik, tetapi memberikan penyadaran kepada peserta didik untuk secara mandiri dan dengan kesiapan psikologis yang baik untuk menerima materi ajar dengan berbagai metode dan strategi pembelajaran yang disukai peserta didik.

Tugas pembelajaran  yang diperankan guru di ruang-ruang kuliah quantum yang tentu saja bervariasi dari segi potensi siswa, latar belakang sosial-ekonomi-budaya-etnis, berbeda dari aspek kesiapan intelektual, daya serap, pengalaman belajar dan lain-lain, menuntut guru untuk piawai memaksimalkan pengembangan potensi yang berbeda-beda tadi tanpa menimbulkan “konflik” dan ketegangan di antara peserta didik. Kemampuan manajemen seperti inilah yang dikatakan abudin nata bahwa guru bertindak sebagai seorang composer orkestra yang unggul, dimana guru mampu menempatkan posisi yang tepat bagi tiap-tiap peserta didik yang memiliki keunggulan-keunggulan yang unik dan beragam itu untuk selanjutnya menghadirkan sebuah proses pembelajaran yang enjoy, fun, dan sangat disenangi siswa (nata: 2003: 36).

Nuansa demokratis dalam pendekatan pembelajaran quantum dapat terlihat dari beberapa prinsip yang mendasari pelaksanaan pendekatan ini. Pertama, segalanya berbicara. Prinsip ini dimaksudkan untuk memaksimalkan penggunaan semua yang berada di lingkungan belajar peserta didik untuk memberikan kontribusi dan dimanfaatkan untuk membantu menyampaikan pesan-pesan pembelajaran, mulai dari fasilitas yang ada di sekililing peserta didik sampai pada bahasa tubuh peserta didik atau guru harus “berbicara” dalam kerangka menghangatkan dan memberikan efek rileks dan menyenangkan bagi peserta didik sebagai peserta belajar. 

Kedua, segalanya bertujuan. Prinsip ini mengisyaratkan semua aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran tidak ada yang berlangsung secara sia-sia, karena semuanya memiliki tujuan positip dan sarat makna (meaningfull). 

Ketiga, pengalaman sebelum pemberian nama. Prinsip ini berorientasi pada pemberian kesadaran dan kesiapan peserta didik ketika mengikuti materi pembelajaran. Seorang guru harus memastikan peserta didik mempunyai kesiapan belajar sebelum dilaksanakan proses belajar mengajar. 

Keempat, akui setiap usaha. Prinsip ini terkait dengan aplikasi pemberian reward (penghargaan) atas sekecil apapun hasil kerja peserta didik. Peserta didik membutuhkan apresiasi setiap hasil pekerjaan belajarnya. Kelima, jika layak dipelajari layak pula dirayakan. Prinsip ini terkait dengan menanaman bibit kesuksesan dan selalu menghubungkan belajar dengan perayaan (lihat bobbi,  2003 : 7).

Pada tataran yang lebih praktis, ada dua hal yang menjadi kajian dalam menata atau pembelajaran quantum learning, yakni: menata ruang kelas dan menata proses penyampaian materi ajar. Penataan ruang kelas dalam pendekatan quantum learning harus memenuhi prinsip menghadirkan suasana yang menyenangkan, landasan yang kukuh, lingkungan yang kondusif dan rancangan belajar yang dinamis. Seorang guru penting memperhatikan suasana belajar yang memberdayakan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang menyenangkan seperti penataan ruang kelas yang memberikan suasana dinamis berkorelasi terhadap hasil belajar yang tinggi. Di sinilah guru perlu membangun niat belajar peserta didik yang tulus dan sungguh-sungguh dan rasa saling memiliki.

Ada hal menarik dari pola interaksi guru-peserta didik pada pendekatan quantum learning, bahwa perlakuan terhadap siswa sebagai manusia yang sederajat. Prinsip ini penting untuk membangun saling menghargai di antara guru dan peserta didik, serta menumbuhkan semangat akademis dalam suasana dialog. Karena itu, salah satu ciri kelas quantum learning adalah suasana yang akrab dan guru selalu terlihat ceria dan siap membantu setiap kesulitan belajar peserta didik.

Senada dengan penjelasan di atas, nurhadi (nurhadi, 2002: 4) mengatakan pentingnya pola pembelajaran aktif dengan memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, belajar aktif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik. Kedua, pembelajaran harus berpusat pada bagaimana cara peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka, dimana strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Ketiga, umpan balik amat penting bagi peserta didik  yang berasal dari penilaian (assessment) yang benar. Keempat, menumbuhkan komunikasi belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

Dari pandangan beberapa pakar pembelajaran di atas, dalam sebuah proses pembelajaran yang berbasis pada peserta didik (student-centered learning) jelas terlihat nuansa pengaktifan potensi dan keterlibatan peserta didik dengan lebih dominan dibandingkan dominasi guru.

 Di sinilah aspek pemberdayaan peserta didik semakin muncul. Untuk menumbuhkan dan memberdayakan peserta didik di kelas, seorang guru harus percaya akan kemampuan peserta didik dan dapat mempelajari dan menguasai materi pembelajaran yang akan disampaikan, sehingga guru tidak ragu untuk mengajarkan hal-hal yang dapat bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupannya. 

Kepercayaan inilah yang memotivasi peserta didik untuk antusias belajar karena guru telah menunjukkan antusiasmenya dalam mengajar. Para guru juga penring membangun simpati dan saling pengertian dengan memperlakukan peserta didik sebagai manusia sederajat, berbicara jujur, mengetahui apa yang disukai peserta didik dan merealisasikannya dalam pembelajaran di kelas-kelas, mengetahui cara berpikir peserta didik dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka. Untuk membangun sikap itu guru harus mengembangkan sikap terbuka dan berterus terang mengenai kondisi mereka. Suasana kegembiraan dan memberikan affirmation (penguatan, pengakuan dan perayaan) yang berupa memberikan tepuk tangan, teriakan hore atau poster.

Selain itu, guru juga penting mencoba beberapa pendekatan dan metode pembelajaran baru yang dirancang dan dikembangkan oleh guru sendiri. Atau guru membuat beberapa prosedur pembelajaran yang merupakan kesepakatan antara guru dengan peserta didik. Sebut saja misalnya, pada perkuliahan perdana seorang guru melakukan kontrak belajar kepada peserta didik yang meliputi: strategi dan kegiatan pembelajaran, referensi dan sumber belajar yang digunakan, materi yang akan disajikan, cara penilaian dan alokasi waktu yang digunakan. Dengen melibatkan peserta didik dalam merancang pembelajaran akan dapat membangun rasa saling memiliki dan rasa tanggung jawab bersama antara guru dan peserta didik.

Pengadaan ikon-ikon atau poster-poster di dinding kelas, menyediakan alat bantu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, mengatur posisi bangku dan meja belajar di kelas dengan variatif, memberikan aroma kelas yang berfungsi untuk relaksasi, atau bahkan mulai mengembangkan kelas dengan menggunakan musik yang dapat mengubah mental peserta didik dan mendukung lingkungan belajar. Untuk penggunaan musik atau suara-suara indah dalam belajar, seperti yang ditegaskan gordon dryden dan jeannette (2002: 310) berdasarkan hasil penelitian mereka, justru dapat membantu mengurangi stress, meredakan ketegangan, meningkatkan energi dan memperbesar daya ingat, serta bahkan dapat menjadikan orang lebih cerdas.

Dalam konteks perguruan tinggi, hal penting yang patut diperhatikan oleh guru di lingkungan perguruan tinggi—terutama ketika mengajar materi keislaman (islamic studies) misalnya—selain mempertimbangkan suasana kelas dengan nuansa musik, juga perlu melihat kembali orientasi pembelajaran yang tidak lagi semata-mata menggunakan pendekatan doktriner, tetapi harus dimulai merangsang daya nalar dan potensi pikir peserta didik. Pendekatan ini hanya dapat dilakukan oleh guru yang cerdas dan memiliki wawasan keilmuan dan logika yang baik. Pendekatan seperti ini bermanfaat untuk melatih peserta didik berpikir empirik, sehingga tidak memandang doktrin islam hanya terbatas pada persoalan ritual-normatif semata. Peserta didik di lingkungan perguruan tinggi harus diajak memahami agama secara rasional dan membuat mereka mampu menawarkan dan mencari berbagai solusi atas persoalan keumatan dengan pemecahan masalah yang konkrit dan terukur. Pola penataan materi pelajaran yang terkesan mengabaikan pembentukan daya nalar perlu direkonstruksi ulang.

Dalam kaitan ini, amin abdullah mencoba menawarkan sebuah metodologi baru dalam proses pendidikan dan pengajaran di lingkungan perguruan tinggi, yakni suatu pendekatan yang melibatkan dimensi historis-empiris-saintifik. Dengan memberi bobot muatan sosial-keagamaan melalui dimensi historis-empiris-saintifik, seorang guru perguruan tinggi diharapkan berperan sebagai orang yang tekun membaca situasi dan perkembangan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. 

Bukan sekedar pembaca atau penyampai teks-teks keislaman, dan bukan pula sekedar sebagai transmiter bahan-bahan keagamaan klasik yang memang telah berjasa pada zamannya, tetapi belum tentu dapat diterapkan pada era sekarang. Namun demikian, amin mengakui bahwa pendekatan ini bukan suatu yang final, karena mungkin pada klimaksnya juga tidak dapat membentuk sikap hidup dan pandangan hidup yang jelas. Telaah saintifik-historis-empiris, supaya lebih bermakna dan berbobot, harus dibarengi pula oleh pendekatan doktriner-religius (amin: 64-65, ).

Tampaknya metodologi yang ditawarkan amin tersebut adalah sintesa harmonis antara doktriner-saintifik—sehingga aspek kognitif, afektif dan psikomotorik tersaji dalam satu kesatuan yang utuh lewat berbagai diskusi yang melibatkan partisipasi peserta didik secara aktif-responsif. Bagaimana dua model pendekatan ini dapat teramu sedemikian rupa sehingga menjadi perpaduan yang harmonis merupakan tugas dan agenda bersama para guru perguruan tinggi pada era sekarang ini.

Menurut hasan langgulung, proses pembelajaran dengan ilustrasi menuangkan bakul yang kosong dari bakul yang berisi adalah merupakan pemahaman yang sudah usang. Cara memahami proses belajar mengajar seperti itu akan selalu memposisikan siswa sebagai objek yang belum memiliki apa-apa, sehingga memungkinkan guru untuk sungkan merangsang terjadinya komunikasi dialogis antara pengajar- anak didik. Dan proses belajar mengajar itu bisa berlaku, jika memenuhi syarat-syarat: pertama, ada stimulus. Kedua, muncul respon (gerak balas siswa).

 Dan ketiga, reinforcement (peneguhan). Ketiga syarat itu nampaknya akan segera terlibat pada penerapan metode munadhara (dialogis), yang oleh sejarah dibuktikan sebagai hasil penting dari pendidikan islam, yang masa selanjutnya dianggap sebagai cara untuk memajukan kegiatan intelektual di lembaga-lembaga pendidikan di dunia islam di timur tengah dan barat (hasan langgulung: 362, 1992).

Sejalan dengan pemikiran tersebut, bila dihubungkan dengan tawaran friere dapat juga ditarik benang merah bahwa pembelajaran di lingkungan perguruan tinggi berlangsung selama ini boleh dikatakan berjalan dengan pola relasi monolog-otoriter, maka dari itu sudah sepatutnya diganti dengan model dialogis. Pentingnya dibangun hubungan dialogis itu, karena dialoglah yang memungkinkan akan munculnya suatu kesadaran pada anak didik.

Dasar penegasan paulo friere akan perlunya pola dialogis itu adalah keyakinannya yang mendasar tentang peranan pendidikan sebagai wadah yang paling strategis dalam menumbuhkembangkan kesadaran, dan kesadaran itu hanya akan muncul manakala jati diri anak didik diakui sebagai subyek. Pengakuan terhadap diri anak didik sebagai subyek hanyalah mungkin terjadi dalam relasi dialogis itu (friere: 73, 2001).

Masih dalam kerangka rekonstruksi metodologis pembelajaran berbasis student center di lingkungan perguruan tinggi, hemat penulis, model pembelajaran di lingkungan perguruan tinggi masih bercorak pedagogi yang selalu memposisikan peserta didik sebagai objek pasif yang “bodoh”, sedang guru adalah subjek aktif yang pintar dan sumber kebenaran. Pola ini sudah sepantasnya diganti dengan corak andragogi yang selalu melihat peserta didik sebagai subyek aktif dan dalam relasi guru-peserta didik didasarkan atas prinsip kesetaraan dan komunikasi dialogis antara keduanya.

Selain itu pula, pendekatan pembelajaran yang cenderung lebih banyak top down atau deduktif yang selalu membawakan kebenaran dari atas, sehingga kurang menghiraukan  kenyataan-kenyataan yang unik dan melibatkan dengan kebutuhan keseharian hendaknya juga segera dibarengi dengan model pendekatan bottom up atau induktif, sebagai kebalikan metode deduktif, yakni dalam proses pembelajaran seorang guru memulai mengenalkan kasus-kasus dalam kehidupan empiris, kemudian ditarik maknanya secara hakiki tentang nilai-nilai kebenaran yang berada dalam kehidupan tersebut.

Dalam kajian desain instruksional, seorang guru sangat dituntut untuk mampu melakukan penataan terhadap kompetensi pembelajaran, materi dan bahan ajar, metodologi pembelajaran, pengalaman belajar, media dan sumber belajar, evaluasi, serta mampu memperkirakan waktu yang diperlukan untuk memberikan kompetensi tertentu kepada siswa. Dari desain ini diharapkan guru bisa memastikan dan memberikan “jaminan mutu” atas semua yang diajarkan kepada peserta didik. Selama ini terdapat kesan bahwa proses pembelajaran cenderung kurang memberikan jaminan mutu dan waktu yang dialokasikan untuk sebuah pembelajaran tidak pernah dikaji dengan berorientasi pada ketuntasan pembahasan materi ajar.

Memang harus diakui, bahwa pola dan tradisi pembelajaran yang dipraktikkan para guru kita yang belum mengarah pada perbaikan mutu pembelajaran, juga disebabkan sistem pendidikan kita yang secara nasional masih lebih terkesan belum mengoptimalkan proses dan pemberian pengalaman belajar pada peserta didik, tetapi justru sangat jelas kesan berorientasi pada hasil belajar semata. Meskipun demikian, harapan untuk terjadinya perubahan tidak harus pupus, dan di sinilah peran dan fungsi guru menjadi ujung tombak perubahan pola pembelajaran di tataran yang paling praktis di ruang-ruang kelas.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, “Problem Epistimologis-Metodologis Pendidikan Agama”, dalam Munir Mulkhan, dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiusitas Iptek, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Al-Abrasyi, M. Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin Ashrafi, Yogyakarta: Titian Ilhai Press, 1996.
Azra, Azyumardi, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, dalam Munir Mulkhan dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren.Religiusitas Iptek, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Beidler, Peter G. 1997. “What Makes A Good Teacher”, dalam John K. Roth, Inspiring  Teaching, USA: Anker Publishing.
Burhani, Ahmad Najib, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama membongkar Doktrin Yang Membatu, Jakarta: Kompas, 2001.
De Porte, Bobbi dan Mike Hernacki, 2001.Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa.
DePorte, Bobby DePorte dkk, Quantum Teaching: Orchestrating Student Succes.
Dryden, Gordon dan Jeannette VOS, 2002, The Learning Revolution: Belajar Akan Lebih Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan Fun, Bandung: Kaifa.
Freire, Paulo, Pedagogy of The Oppressed
Friere, Paulo, Pedagogi pengharapan, Terj. A. Widyamartaya, Jogjakarta: Kanisius, 2001
Freire, Paolo at.al., 1999. Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme, Konservatisme, Liberal dan Anarkisme, Alih Bahasa: Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gibson, T., Jenice, 1972. Educational Psychology, New York: Appletown Century Crofts.

Terima kasih telah membaca artikel ini semoga bermanfaat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar