Rabu, 26 Juli 2017
Beberapa pendekatan pembelajaran menuju student-centered learning
Beberapa pendekatan pembelajaran
sebagai lternatif tawaran menuju student-centered learning
Beberapa tahun terakhir dunia
pembelajaran di indonesia diperkenalkan dengan berbagai model pendekatan
pembelajaran yang berorientasi pada nuansa pemberian pengalaman belajar peserta
didik dengan dominasi keaktifan lebih berada pada sisi peserta didik, bukan
pada dominasi guru.
Model pendekatan pembelajaran seperti quantum teaching,
active learning, cooperative
learning, contextual teaching and
learning, dan lain-lain adalah loncatan perkembangan terbaru yang penting untuk
dicermati oleh para guru. Pendekatan pembelajaran lama yang kering nuansa dan
cenderung belum diorientasikan untuk menyenangkan peserta didik dan sering
terkesan membosankan, tegang dan kurang rileks, agaknya perlu dipertimbangkan
untuk diganti dengan pendekatan-pendekatan baru seperti yang ditawarkan pada
konsep activel learning dan quantum learning.
Pertama, active learning, apa yang dipikirkan ketika mendengar istilah
“belajar aktif”? Banyak orang berpikir bahwa belajar aktif adalah membuat
peserta didik beraktifitas, bergerak, dan
melakukan sesuatu dengan aktif. Salah satu indikator pentingnya aktif adalah situasi kelas yang ramai
bergemuruh, sementara guru lebih santai. Mungkin juga ada yang berpikir aktif
menggunakan otak.
belajar
aktif merupakan sebuah kesatuan sumber kumpulan strategi-strategi pembelajaran
yang komprehensif, yang meliputi berbagai cara untuk membuat peserta didik
aktif sejak awal melalui aktivitas-aktivitas yang membangun kerja kelompok dan
dalam waktu singkat membuat mereka berpikir tentang materi pelajaran. Juga
terdapat tehnik-tehnik memimpin belajar bagi seluruh kelas, bagi kelompok
kecil, merangsang diskusi dan debat, mempraktekkan keterampilan-keterampilan,
mendorong adanya pertanyaan-pertanyaan, bahkan membuat peserta didik saling mengajar
satu sama lain.
belajar
aktif sangat diperlukan oleh peserta didik untuk mendapatkan hasil belajar yang
maksimum. Ketika peserta didik pasif, atau hanya menerima apa yang disampaikan
guru, ada kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah disampaikan.
Dengan begitu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengikat informasi yang
baru diterima dari guru. Belajar aktif adalah salah satu alternatif untuk
mengikat informasi yang baru kemudian menyimpannya dalam otak. Belajar yang hanya mengandalkan indera
pendengaran tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.
dalam
kaitan ini misalnya, mel silberman dalam karyanya active learning, 101 strategi to teach any s ubject, mengawali
tulisannya dengan mengutif kata-kata bijak konfusius, seorang filosof cina yang
hidup lebih dari 2400 tahun lalu:
“apa
yang saya dengar saya lupa.
apa
yang saya lihat saya ingat.
apa
yang saya kerjakan saya paham.”
tiga
pernyataan sederhana ini membicarakan bobot penting belajar aktif.
ungkapan
filosof itu dikembangkan oleh mel silberman menjadi apa yang disebut dengan
active learning credo:
“apa
yang saya dengar saya lupa.
apa
yang saya dengar dan lihat saya ingat sedikit.
Apa yang saya dengar, lihat, dan
saya diskusikan, saya mulai paham.
Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan,
dan lakukan saya peroleh pengetahuan dan keterampilan.
Apa yang saya ajarkan kepada
orang lain saya kuasai.” (silberman, 1996).
Secara implisit mel silberman
ingin menunjukkan bahwa belajar lebih bermakna dan bermanfaat apabila siswa
menggunakan semua alat indra, mulai dari telinga, mata, sekaligus berpikir
mengolah informasi dan ditambah dengan mengerjakan sesuatu. Dengan mendengarkan
saja, kita tidak dapat mengingat banyak dan akan mudah lupa.
Ada banyak alasan mengapa orang cenderung lupa terhadapa
apa yang mereka dengar. Salah satu
alasan yang paling menarik adalah berkaitan dengan jumlah kata yang diucapkan
oleh seorang guru dan kemampuan mendengar peserta didik. Sebagian besar guru
rata-rata mengucapkan kurang lebih antara 100 sampai 200 kata per menit. Jumlah
kata yang didengar oleh peserta didik sangat tergantung pada bagimana cara ia
mendengar. Kalau ia mendengarkan dengan penuh konsentrasi peserta didik mungkin
dapat mendengarkan 50 sampai 100 kata dalam setiap menitnya, atau setengahnya
dari yang dikatakan oleh guru. Hal itu disebabkan oleh mereka berpikir keras
sambil mendengar.
Oleh karena itu, peserta didik akan merasa kesulitan
mendengarkan pelajaran dari guru yang banyak bicara, apalagi bicara dengan
tempo yang cepat.
Kemungkinan lain peserta didik
tidak mendengarkan dengan penuh konsentrasi karena keterbatasan kemampuan
manusia untuk berkonsentrasi secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu
walaupun materi yang disampaikan menarik. Ketika mendengarkan seorang guru yang
berbicara dengan tempo yang lambat, sangat mungkin peserta didik akan merasaa
bosan dan jenuh, dan pikiran mereka mulai menerawang ke mana-mana.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peserta didik dalam ruang kelas mampu memperhatikan dan berkonsentrasi
penuh kurang lebih sekitar 60% dari waktu yang tersedia (pollio, 1984). Lebih
lanjut peserta didik mampu mengingat mencapai 70% informasi yang sampaikan oleh
guru pada 10 menit pertama, tetapi pada 10 menit terakhir mereka hanya mampu
mengingat 20% dari materi yang disampaikan (mckeachie, 1986).
Studi lain menunjukkan bahwa
proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik hanya mendengar akan
menimbulkan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Perhatian peserta didik berkurang seiring dengan
berlalunya waktu.
2. Hanya menarik dan cocok bagi siswa auditory
3. Cenderung mengarah pada tingkat belajar rendah dari
informasi faktual.
4. Ini mengasumsikan bahwa siswa memerlukan informasi yang
sama dan pada langkah yang sama.
5. Mahaiswa cenderung tidak menyukai (johnson & smith,
1991).
Dengan menambahkan visual pada
pelajaran menaikkan ingatan dari 14% ke 38% (pike, 1989). Penelitian itu juga
menunjukkan perbaikan sampai 200% ketika kosa kata diajarkan dengan
menggunakan alat visual. Bahkan, waktu
yang diperlukan untuk menyampaikan konsep berkurang sampai 40% ketika visual
digunakan untuk menambahkan presentasi verbal. Sebuah gambar barangkali tidak
bernilai ribuan kata, namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata-kata
saja.
Karena mengajar menyangkut dua
dimensi (pendengaran dan penglihatan), pesan yang disampaikan hendaknya diperkuat
dengan dua sistem penyampaian. Meskipun demikian, sebagian siswa lebih
menyenangi satu bentuk penyampaian dibandingkan dengan bentuk yang lain. Dengan
menggunakan keduanya kita memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik. Akan tetapi, dengan hanya mendengarkan atau melihat,
tidak berarti proses belajar telah sempurna. Sampai di sini kita dapat mengenal
beberapa aspek yang berkaitan dengan belajar aktif.
Kedua, quantum learning, asas
utama sistem pengajaran quantum: “bawalah dunia peserta didik ke dunia kita
(guru) dan antarkan dunia kita ke dunia mereka (peserta didik)”, menyiratkan
filosofi pembelajaran yang saling mengisi dan melengkapi antara kepentingan dan
kebutuhan peserta didik dengan idealisme guru dalam menanamkan pesan-pesan
pendidikan kepada peserta didik. Sangat kuat nuansa demokratis dalam proses
pembelajaran dimana guru tidak akan pernah memaksa kepentingan dan idealismenya
kepada peserta didik, tetapi memberikan penyadaran kepada peserta didik untuk
secara mandiri dan dengan kesiapan psikologis yang baik untuk menerima materi
ajar dengan berbagai metode dan strategi pembelajaran yang disukai peserta
didik.
Tugas pembelajaran yang diperankan guru di ruang-ruang kuliah
quantum yang tentu saja bervariasi dari segi potensi siswa, latar belakang
sosial-ekonomi-budaya-etnis, berbeda dari aspek kesiapan intelektual, daya
serap, pengalaman belajar dan lain-lain, menuntut guru untuk piawai
memaksimalkan pengembangan potensi yang berbeda-beda tadi tanpa menimbulkan
“konflik” dan ketegangan di antara peserta didik. Kemampuan manajemen seperti
inilah yang dikatakan abudin nata bahwa guru bertindak sebagai seorang composer
orkestra yang unggul, dimana guru mampu menempatkan posisi yang tepat bagi
tiap-tiap peserta didik yang memiliki keunggulan-keunggulan yang unik dan
beragam itu untuk selanjutnya menghadirkan sebuah proses pembelajaran yang
enjoy, fun, dan sangat disenangi siswa (nata: 2003: 36).
Nuansa demokratis dalam
pendekatan pembelajaran quantum dapat terlihat dari beberapa prinsip yang
mendasari pelaksanaan pendekatan ini. Pertama, segalanya berbicara. Prinsip ini
dimaksudkan untuk memaksimalkan penggunaan semua yang berada di lingkungan
belajar peserta didik untuk memberikan kontribusi dan dimanfaatkan untuk
membantu menyampaikan pesan-pesan pembelajaran, mulai dari fasilitas yang ada
di sekililing peserta didik sampai pada bahasa tubuh peserta didik atau guru
harus “berbicara” dalam kerangka menghangatkan dan memberikan efek rileks dan
menyenangkan bagi peserta didik sebagai peserta belajar.
Kedua, segalanya
bertujuan. Prinsip ini mengisyaratkan semua aktivitas yang dilakukan dalam
proses pembelajaran tidak ada yang berlangsung secara sia-sia, karena semuanya
memiliki tujuan positip dan sarat makna (meaningfull).
Ketiga, pengalaman
sebelum pemberian nama. Prinsip ini berorientasi pada pemberian kesadaran dan
kesiapan peserta didik ketika mengikuti materi pembelajaran. Seorang guru harus
memastikan peserta didik mempunyai kesiapan belajar sebelum dilaksanakan proses
belajar mengajar.
Keempat, akui setiap usaha. Prinsip ini terkait dengan
aplikasi pemberian reward (penghargaan) atas sekecil apapun hasil kerja peserta
didik. Peserta didik membutuhkan apresiasi setiap hasil pekerjaan belajarnya.
Kelima, jika layak dipelajari layak pula dirayakan. Prinsip ini terkait dengan
menanaman bibit kesuksesan dan selalu menghubungkan belajar dengan perayaan
(lihat bobbi, 2003 : 7).
Pada tataran yang lebih praktis,
ada dua hal yang menjadi kajian dalam menata atau pembelajaran quantum
learning, yakni: menata ruang kelas dan menata proses penyampaian materi ajar.
Penataan ruang kelas dalam pendekatan quantum learning harus memenuhi prinsip
menghadirkan suasana yang menyenangkan, landasan yang kukuh, lingkungan yang
kondusif dan rancangan belajar yang dinamis. Seorang guru penting memperhatikan
suasana belajar yang memberdayakan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa lingkungan belajar yang menyenangkan seperti penataan ruang kelas yang
memberikan suasana dinamis berkorelasi terhadap hasil belajar yang tinggi. Di
sinilah guru perlu membangun niat belajar peserta didik yang tulus dan
sungguh-sungguh dan rasa saling memiliki.
Ada hal menarik dari pola
interaksi guru-peserta didik pada pendekatan quantum learning, bahwa perlakuan
terhadap siswa sebagai manusia yang sederajat. Prinsip ini penting untuk
membangun saling menghargai di antara guru dan peserta didik, serta menumbuhkan
semangat akademis dalam suasana dialog. Karena itu, salah satu ciri kelas
quantum learning adalah suasana yang akrab dan guru selalu terlihat ceria dan
siap membantu setiap kesulitan belajar peserta didik.
Senada dengan penjelasan di atas,
nurhadi (nurhadi, 2002: 4) mengatakan pentingnya pola pembelajaran aktif dengan
memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, belajar aktif dimulai dari lingkungan
belajar yang berpusat pada peserta didik. Kedua, pembelajaran harus berpusat
pada bagaimana cara peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka, dimana
strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Ketiga, umpan balik
amat penting bagi peserta didik yang
berasal dari penilaian (assessment) yang benar. Keempat, menumbuhkan komunikasi
belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
Dari pandangan beberapa pakar
pembelajaran di atas, dalam sebuah proses pembelajaran yang berbasis pada
peserta didik (student-centered learning) jelas terlihat nuansa pengaktifan
potensi dan keterlibatan peserta didik dengan lebih dominan dibandingkan
dominasi guru.
Di sinilah aspek pemberdayaan peserta didik semakin muncul.
Untuk menumbuhkan dan memberdayakan peserta didik di kelas, seorang guru harus
percaya akan kemampuan peserta didik dan dapat mempelajari dan menguasai materi
pembelajaran yang akan disampaikan, sehingga guru tidak ragu untuk mengajarkan
hal-hal yang dapat bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupannya.
Kepercayaan
inilah yang memotivasi peserta didik untuk antusias belajar karena guru telah
menunjukkan antusiasmenya dalam mengajar. Para guru juga penring membangun
simpati dan saling pengertian dengan memperlakukan peserta didik sebagai
manusia sederajat, berbicara jujur, mengetahui apa yang disukai peserta didik
dan merealisasikannya dalam pembelajaran di kelas-kelas, mengetahui cara
berpikir peserta didik dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam
kehidupan mereka. Untuk membangun sikap itu guru harus mengembangkan sikap
terbuka dan berterus terang mengenai kondisi mereka. Suasana kegembiraan dan
memberikan affirmation (penguatan, pengakuan dan perayaan) yang berupa
memberikan tepuk tangan, teriakan hore atau poster.
Selain itu, guru juga penting
mencoba beberapa pendekatan dan metode pembelajaran baru yang dirancang dan dikembangkan
oleh guru sendiri. Atau guru membuat beberapa prosedur pembelajaran yang
merupakan kesepakatan antara guru dengan peserta didik. Sebut saja misalnya,
pada perkuliahan perdana seorang guru melakukan kontrak belajar kepada peserta
didik yang meliputi: strategi dan kegiatan pembelajaran, referensi dan sumber
belajar yang digunakan, materi yang akan disajikan, cara penilaian dan alokasi
waktu yang digunakan. Dengen melibatkan peserta didik dalam merancang
pembelajaran akan dapat membangun rasa saling memiliki dan rasa tanggung jawab
bersama antara guru dan peserta didik.
Pengadaan ikon-ikon atau
poster-poster di dinding kelas, menyediakan alat bantu yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran, mengatur posisi bangku dan meja belajar di kelas dengan
variatif, memberikan aroma kelas yang berfungsi untuk relaksasi, atau bahkan
mulai mengembangkan kelas dengan menggunakan musik yang dapat mengubah mental
peserta didik dan mendukung lingkungan belajar. Untuk penggunaan musik atau
suara-suara indah dalam belajar, seperti yang ditegaskan gordon dryden dan
jeannette (2002: 310) berdasarkan hasil penelitian mereka, justru dapat
membantu mengurangi stress, meredakan ketegangan, meningkatkan energi dan
memperbesar daya ingat, serta bahkan dapat menjadikan orang lebih cerdas.
Dalam konteks perguruan tinggi,
hal penting yang patut diperhatikan oleh guru di lingkungan perguruan
tinggi—terutama ketika mengajar materi keislaman (islamic studies)
misalnya—selain mempertimbangkan suasana kelas dengan nuansa musik, juga perlu
melihat kembali orientasi pembelajaran yang tidak lagi semata-mata menggunakan
pendekatan doktriner, tetapi harus dimulai merangsang daya nalar dan potensi
pikir peserta didik. Pendekatan ini hanya dapat dilakukan oleh guru yang cerdas
dan memiliki wawasan keilmuan dan logika yang baik. Pendekatan seperti ini
bermanfaat untuk melatih peserta didik berpikir empirik, sehingga tidak
memandang doktrin islam hanya terbatas pada persoalan ritual-normatif semata.
Peserta didik di lingkungan perguruan tinggi harus diajak memahami agama secara
rasional dan membuat mereka mampu menawarkan dan mencari berbagai solusi atas
persoalan keumatan dengan pemecahan masalah yang konkrit dan terukur. Pola penataan
materi pelajaran yang terkesan mengabaikan pembentukan daya nalar perlu
direkonstruksi ulang.
Dalam kaitan ini, amin abdullah
mencoba menawarkan sebuah metodologi baru dalam proses pendidikan dan
pengajaran di lingkungan perguruan tinggi, yakni suatu pendekatan yang
melibatkan dimensi historis-empiris-saintifik. Dengan memberi bobot muatan
sosial-keagamaan melalui dimensi historis-empiris-saintifik, seorang guru
perguruan tinggi diharapkan berperan sebagai orang yang tekun membaca situasi
dan perkembangan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Bukan sekedar pembaca
atau penyampai teks-teks keislaman, dan bukan pula sekedar sebagai transmiter
bahan-bahan keagamaan klasik yang memang telah berjasa pada zamannya, tetapi
belum tentu dapat diterapkan pada era sekarang. Namun demikian, amin mengakui
bahwa pendekatan ini bukan suatu yang final, karena mungkin pada klimaksnya
juga tidak dapat membentuk sikap hidup dan pandangan hidup yang jelas. Telaah
saintifik-historis-empiris, supaya lebih bermakna dan berbobot, harus dibarengi
pula oleh pendekatan doktriner-religius (amin: 64-65, ).
Tampaknya metodologi yang
ditawarkan amin tersebut adalah sintesa harmonis antara
doktriner-saintifik—sehingga aspek kognitif, afektif dan psikomotorik tersaji
dalam satu kesatuan yang utuh lewat berbagai diskusi yang melibatkan
partisipasi peserta didik secara aktif-responsif. Bagaimana dua model
pendekatan ini dapat teramu sedemikian rupa sehingga menjadi perpaduan yang
harmonis merupakan tugas dan agenda bersama para guru perguruan tinggi pada era
sekarang ini.
Menurut hasan langgulung, proses
pembelajaran dengan ilustrasi menuangkan bakul yang kosong dari bakul yang berisi
adalah merupakan pemahaman yang sudah usang. Cara memahami proses belajar
mengajar seperti itu akan selalu memposisikan siswa sebagai objek yang belum
memiliki apa-apa, sehingga memungkinkan guru untuk sungkan merangsang
terjadinya komunikasi dialogis antara pengajar- anak didik. Dan proses belajar
mengajar itu bisa berlaku, jika memenuhi syarat-syarat: pertama, ada stimulus.
Kedua, muncul respon (gerak balas siswa).
Dan ketiga, reinforcement
(peneguhan). Ketiga syarat itu nampaknya akan segera terlibat pada penerapan
metode munadhara (dialogis), yang oleh sejarah dibuktikan sebagai hasil penting
dari pendidikan islam, yang masa selanjutnya dianggap sebagai cara untuk
memajukan kegiatan intelektual di lembaga-lembaga pendidikan di dunia islam di
timur tengah dan barat (hasan langgulung: 362, 1992).
Sejalan dengan pemikiran
tersebut, bila dihubungkan dengan tawaran friere dapat juga ditarik benang
merah bahwa pembelajaran di lingkungan perguruan tinggi berlangsung selama ini
boleh dikatakan berjalan dengan pola relasi monolog-otoriter, maka dari itu
sudah sepatutnya diganti dengan model dialogis. Pentingnya dibangun hubungan
dialogis itu, karena dialoglah yang memungkinkan akan munculnya suatu kesadaran
pada anak didik.
Dasar penegasan paulo friere akan
perlunya pola dialogis itu adalah keyakinannya yang mendasar tentang peranan
pendidikan sebagai wadah yang paling strategis dalam menumbuhkembangkan
kesadaran, dan kesadaran itu hanya akan muncul manakala jati diri anak didik
diakui sebagai subyek. Pengakuan terhadap diri anak didik sebagai subyek
hanyalah mungkin terjadi dalam relasi dialogis itu (friere: 73, 2001).
Masih dalam kerangka rekonstruksi
metodologis pembelajaran berbasis student center di lingkungan perguruan
tinggi, hemat penulis, model pembelajaran di lingkungan perguruan tinggi masih
bercorak pedagogi yang selalu memposisikan peserta didik sebagai objek pasif
yang “bodoh”, sedang guru adalah subjek aktif yang pintar dan sumber kebenaran.
Pola ini sudah sepantasnya diganti dengan corak andragogi yang selalu melihat
peserta didik sebagai subyek aktif dan dalam relasi guru-peserta didik
didasarkan atas prinsip kesetaraan dan komunikasi dialogis antara keduanya.
Selain itu pula, pendekatan
pembelajaran yang cenderung lebih banyak top down atau deduktif yang selalu
membawakan kebenaran dari atas, sehingga kurang menghiraukan kenyataan-kenyataan yang unik dan melibatkan
dengan kebutuhan keseharian hendaknya juga segera dibarengi dengan model
pendekatan bottom up atau induktif, sebagai kebalikan metode deduktif, yakni
dalam proses pembelajaran seorang guru memulai mengenalkan kasus-kasus dalam
kehidupan empiris, kemudian ditarik maknanya secara hakiki tentang nilai-nilai
kebenaran yang berada dalam kehidupan tersebut.
Dalam kajian desain instruksional,
seorang guru sangat dituntut untuk mampu melakukan penataan terhadap kompetensi
pembelajaran, materi dan bahan ajar, metodologi pembelajaran, pengalaman
belajar, media dan sumber belajar, evaluasi, serta mampu memperkirakan waktu
yang diperlukan untuk memberikan kompetensi tertentu kepada siswa. Dari desain
ini diharapkan guru bisa memastikan dan memberikan “jaminan mutu” atas semua
yang diajarkan kepada peserta didik. Selama ini terdapat kesan bahwa proses
pembelajaran cenderung kurang memberikan jaminan mutu dan waktu yang
dialokasikan untuk sebuah pembelajaran tidak pernah dikaji dengan berorientasi
pada ketuntasan pembahasan materi ajar.
Memang harus diakui, bahwa pola
dan tradisi pembelajaran yang dipraktikkan para guru kita yang belum mengarah
pada perbaikan mutu pembelajaran, juga disebabkan sistem pendidikan kita yang
secara nasional masih lebih terkesan belum mengoptimalkan proses dan pemberian
pengalaman belajar pada peserta didik, tetapi justru sangat jelas kesan
berorientasi pada hasil belajar semata. Meskipun demikian, harapan untuk
terjadinya perubahan tidak harus pupus, dan di sinilah peran dan fungsi guru
menjadi ujung tombak perubahan pola pembelajaran di tataran yang paling praktis
di ruang-ruang kelas.
Daftar
Pustaka
Daftar
Pustaka
Abdullah, Amin, “Problem Epistimologis-Metodologis Pendidikan Agama”, dalam
Munir Mulkhan, dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren,
Religiusitas Iptek, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Al-Abrasyi, M. Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj.
Syamsuddin Ashrafi, Yogyakarta: Titian Ilhai Press, 1996.
Azra, Azyumardi, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, dalam
Munir Mulkhan dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi
Pesantren.Religiusitas Iptek, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Beidler, Peter G. 1997. “What Makes A Good Teacher”, dalam
John K. Roth, Inspiring Teaching ,
USA : Anker Publishing.
Burhani, Ahmad Najib, Islam Dinamis Menggugat Peran
Agama membongkar Doktrin Yang Membatu, Jakarta : Kompas, 2001.
De Porte, Bobbi dan Mike Hernacki, 2001.Quantum Learning:
Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung : Kaifa.
DePorte, Bobby DePorte dkk, Quantum Teaching:
Orchestrating Student Succes.
Dryden, Gordon dan Jeannette VOS, 2002, The Learning
Revolution: Belajar Akan Lebih Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan Fun, Bandung : Kaifa.
Freire,
Paulo, Pedagogy of The Oppressed
Friere, Paulo, Pedagogi pengharapan, Terj. A.
Widyamartaya, Jogjakarta :
Kanisius, 2001
Freire, Paolo at.al., 1999. Menggugat Pendidikan:
Fundamentalisme, Konservatisme, Liberal dan Anarkisme, Alih Bahasa: Omi
Intan Naomi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Gibson, T., Jenice, 1972. Educational Psychology, New York : Appletown
Century Crofts.
Terima kasih telah membaca artikel ini semoga bermanfaat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar