google-site-verification: google314e099c36007d9d.html

Selasa, 08 Agustus 2017

Peranan Perempuan dalam bidang keilmuan

Dalam kitab terakhir ini diberikan biografi 1075 perempuan, 411 orang diantara mereka mempunyai pendidikan agama yang cukup tinggi (Azra, tt:  70)


Tidak diragukan lagi, bahwa jumlah ulama perempuan yang dikenal secara luas sebagai ulama sangat sedikit. Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad  misalnya mengemukakan biografi 7799 ulama laki-laki dan hanya 32 ulama perempuan dari jumlah sebesar itu. Tetapi Tritton (1957: 141) memperingatkan untuk tidak mempercayai sepenuhnya jumlah ulama perempuan ini. Menurut dia dari 32 mereka yang tertulis, dua orng ternayata bukan ulama, tetapi istri khalifah, mereka adalah Khairuzan dan Zubaidah. Pada lain pihak, Syalabi  menganggap bahwa jumlah ulama perempuan sedikit lebih besar. Menurutnya terdapat sejumlah 1543 ulama  perempuan dalam kitab  al-Ishabah fi- Tamyiz al-Shahabah  karya Ibnu Hajar. Tanpa menyebut jumlah yang pasti, ia juga beranggapan bahwa jumlah ulama perempuan juga cukup besar dalam kitab Tahdzib al-Asma‘ karya al-Nawawi,  Tarikh Baghdad  karya al-Baghdad dan al-Dhaw al-Lami karya al-Sakhawi (Syalabi, 1954: 193).  


Dalam catatan Syalabi, yang berdasarkan kamus-kamus biografi tertentu, memberikan deskripsi singkat tentang ulama perempuan yang paling terkenal diantaranya adalah Aisyah, istri Nabi. Diriwayatkan bahawa Nabi sendiri memerintahkan para sahabat yang baru masuk Islam untuk menerima pelajaran agama dari Aisyah. Dalam bidang hadist ia  adalah perawi terpercaya dalam meriwayatkan ribuan hadist. Selanjutnya adalah Nafisah, seorang keturunan Ali yang dikenal sebagai otoritas dalam bidang hadist, selanjutnya Fatimah bin Al-Aqra’  selain dikenal sebagai ulama juga dalah kaligrafer terkemuka. Diriwayatkan Fatimah pernah menghadiri halaqah banyak guru terkemuka dan pada gilirannya, ia menjadi guru terkenal yang didatangi murid dari mana-mana (Syalabi, 1954: 193).

Pada masa kejayaan Islam di zaman Bani Abbas, banyak wanita  ikut dalam kegiatan intelek, sebagian dari wanita telah mempunyai nama yang termasyhur  dalam ilmu agama dan hadist diantara Aisyah binti Ahmad bin Qadim al-Qurthubiyah, ia adalah ahli syair, ilmu akhlak, fasih berbicara dan mempunyai pikiran yang cemerlang  dengan tulisannya yang indah dalam menulis al-Qur’an.  Begitu juga Lubna, ia adalah seorang penulis Khalifah al-Hakam bin Abdurrahman, ia pandai menulis, seorang ahli Nahwu, penyair, pintar dalam ilmu pengetahuan dan berhitung dan juga ada Zainab dari Bani Uwad, seorang dokter wanita (Fahmi, 1979: 134). Di samping itu ada  Nafisah binti Al-Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali, ia seorang ahli hadist, dan ada  Di samping itu ada  Nafisah binti Al-Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali, ia seorang ahli hadist  di antara beberapa perempuan yang ahli hadist. Banyak ulama dan mujtahid hadir ke halaqahnya. Imam Syafi’i pun pernah datang ke Mesir menghadiri halaqah Nafisah untuk mendengarkan hadist dari padanya. Begitu juga  ada  Syaikhah Syahdah, ia memberi kuliah di masjid Baghdad dihadiri pelajar-pelajar dan orang banyak  baik laki-laki maupun perempuan dalam bidang agama dan sastra. Dia patut menjadi kebanggaan kaum perempuan, karena menghiasi sejarah Islam dengan keulamaannya.

 Menurut Tritton (1957: 141), begitu terkenalnya Syaikhah Syuhda ini sehingga Ibn Khalikan mengabdikan sebuah essai untuknya. Ada  Zainab binti Abdurrahman Asy-Sya’ry, ia seorang ulama besar mendapat ijazah dari beberapa ulama di antaranya  dari Abul Qasim Zamaksyari, pengarang Al-Kassyaf. Begitu juga ada Zubaidah istri khalifah Harun al-Rasyid, seorang intelek dan ahli syair, Badanyah, seorang yang ahli Nahwu, lughah, Jamilah, seorang ahli musik dan lagu. Kemudian ada Rabi’ah al-Adawiyah, aa seorang ahli syair dan ahli tasawuf yang termasyhur. Begitu juga ada Unainah, nenek Abil Khair Atttinay, ia seorang ulama yang mengajar, duduk di hadapadan 500 pelajar-pelajar laki-laki dan perempuan. Kemudia tercatat nama  Maryam binti Abi Ya’qub al-Anshary, ia ahli sastra dan mengajarkan sastra kepada banyak perempuan, kemudian ada Badanyah, maula Abil Mutharraf, Abdurrahman bin Ghalbun, ia seorang ahli nahwu dan lughah, kemudian ada Dananir, maula Yahya bin Khalid, ia ahli lagu dan ahli sya’ir, bahkan ia mengarang kitab  yang masyhur dalam Al-Aghany (lagu-lagu)  dan ada Jamilah maula Bani Salim, ia seorang ahli lagu, bahkan guru dari segala guru lagu, kemudian ada ‘Aliyah binti Al-Mahdy, saudari Harun al-Rasyid, ia ahli lagu dan syair-syair, Zainab Tabibah Bani Aud, ia dokter, mengetahui ilmu kedokteran dan obat-obatan, Ummul Hasan binti Al-Qadhi Abi Ja’far al-Thanjaly, ia mengetahui  bermacam-macam ilmu terutama ilmu kedokteran (Yunus,  1986: 121 –123 ).


Kemudian ada ulama perempuan yang bernama Hajar, kemudian Hajar mengikuti ayahnya ketika sang ayah mengadakan rihlah ilmiyyah dan bertemu dengan banyak ulama, lalu mendengar ilmu dan hal-hal lain yang mereka bicarakan. Dengan begitu Hajar menuntut ilmu, sehingga ia pada akhirnya dikenal sebagai seorang ahli Hadist terkemuka pada masanya di Mesir.  Kemudian ada Baryam, menurut al-Sakhawi ayahnya adalah peminat studi al-Qur’an  dan karena itu banyak bergaul dengan ulama yang ahli dalam hal ini. Baryam yang selalu diajak ayahnya tumbuh dan besar dalam lingkungan ini dan pelajaran dia meliputi  kitab-kitab karya al-Nawawi dan al-Ghazali. Kemudian ada Zainab al-Tukhiyyah (wafat 1388) Zaynab merupakan puteri dari Ali bin Muhammad al-Diruti al-Mahalli, menerima pendididikan agama dari ayahnya dan anggota keluarga lainnya. Pada waktu ia masih kecil di sebuah kampung di Mahhallat Ruh, Delta Mesir, ayahnya mengajarinya untuk menghafal al-Qur’an, dan sejumlah kitab yang merupakan dasar bagi pengetahuan lanjutan, khususnya dalam mazhab Syafi’i.  Kemudian ada Khadijah binti Ali (wafat 1468) dan Nusyrwan (wafat 1468). Khadijah adalah seorang yang ahli dalam  al-Qur’an dan Hadist.  Nasywan  juga terkenal karena kedalaman ilmunya. Lalu ada Khadijah binti Muhammad (wafat 1389)  yang memiliki pengetahuan luas, khususnya dalam hadist Sahih Bukhari, ada Zainab binti Abu al-Barakat, seorang sufi perempuan;  Bay Khatun (wafat 1391)  yang mengajar hadist di Mesir dan Syria; dan Ummu Hani (wafat 1466) ulama al-Qur’an dan Hadist yanbg sangat terkemuka pada masanya (Azra., tt: 74-75).

Ulama perempuan memang sering dilaporkan menjadi guru tokoh-tokoh terkenal. Dalam riwayat hidup ulama laki-laki terkenal memang tidak jarang terdapat catatan tentang guru-guru perempuan mereka. Menurut Tritton (1957: 143), tidak terdapat tanda-tanda bahwa mereka segan atau sebaliknya, tidak terdapat pula tanda-tanda bahwa guru-guru perempuan tersebut merada rendah diri  mengajar kaum laki-laki. Karena  itu para peneliti tidak jarang  menemukan syaikhah-syaikhah dalam daftar guru-guru mereka yang dimuat dalam kamus-kamus bigorafi. Diantaranya Ibnu Hazm (wafat 1064 M) diajar oleh beberapa ulama perempuan tentang al-Qur’an dan  sastra sampai jenggotnya lebat.

 Walaupun jumlah ulama perempuan sangat sedikit bila dibandingkan dengan ulama laki-laki, meskipun begitu  banyak juga kaum perempuan yang ahli dalam bermacam-macam ilmu pengetahuan, sehingga tidak kalah dengan kaum laki-laki  seperti nama-nama yang disebutkan di atas. Namun popularitas mereka masih kalah jauh dibadingkan ulama laki-laki, begitu juga dalam produktivitas keilmuan sangat jarang atau hampir tidak ada karya-karya monumental yang dihasilkan ulama perempuan dalam bidang keagamaan.  Di Melayu terdapat karya ulama perempuan yang terlupakan, di antaranya adalah kitab kuning yang banyak dibaca di Indonesia terdapat satu kitab yang dikarang oleh seorang ulama Melayu perempuan, kitab itu diatasnamakan pamannya sendiri dikenal dengan nama kitab Perukunan Jamaluddin, padahal pengarang sebenarnya adalah keponakannya Fatimah cucu Syeikh Arsyad al-Banjari (Van Bruinessen, 1993: 170). 

Dengan demikian, transmisi keilmuan bagi perempuan kelihatannya lebih bayak berlangsung secara informal. Transmisi ini terutama berlangsung dalam keluarga. Di sini, sang ayah dan ibu atau anggota-anggota kerabat lainnya mempunyai peranan yang sangat penting, setidak-tidaknya memberikan  pengetahuan dasar keislaman bagi puteri-puterinya. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, seorang ayah yang kebetulan mempunyai pengetahuan keagamaan di atas rata-rata masyarakat umumnya, atau bahkan merupakan ulama yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan puterinya yang kemudian dapat menjadi ulama profesional. 

Dan yang paling disadari adalah jumlah pelajar-pelajar perempuan yang tercatat dalam berbagai sumber tentang pendidikan Islam memang sangat kecil, menurut Syalabi (1954: 190) menyimpulkan bahwa kaum perempuan  baik di Timur maupun di Barat hanya memiliki kesempatan kecil sekali dalam memperoleh pendidikan dibandingkan dengan kaum laki-laki. Semua ini menimbulkan kesan bahwa lembaga pendidikan Islam, seperti masjid, madrasah terbatas hanya untuk kaum laki-laki saja. Padahal sebenarnya tidak ada larangan sama sekali bagi perempuan untuk terlibat dalam lembaga pendidikan tersebut. Tetapi tidak terdapat bukti yang memadai untuk menyatakan bahwa perempuan juga belajar dalam halaqah di lingkungan masjid.  Namun,  perempuan biasanya terlibat dalam ceramah ilmiah umum yang diadakan di masjid. Maqdisi (1990: 189) menyatakan di Baghdad  bahwa banyak terdapat majlis-majlis ilmiah  yang dihadiri oleh kaum perempuan. Selain itu, kaum perempuan  juga dapat ditemukan belajar dalam halaqah-halaqah khusus yang diselenggarakan di lingkungan madrasah, rumah-rumah, mereka bahkan duduk belajar bersama kaum laki-laki. 

Lembaga-lembaga pendidikan semacam itu adalah lembaga pendidikan informal, namun kaum perempuan hanya mendapatkan tempat yang terbatas pada lembaga–lembaga pendidikan formal seperti madrasah, namun perempuan mempunyai peranan penting dalam  pengembangan dan pendirian madrasah.  Banyak kaum perempuan dari kalangan atas seperti istri sultan yang mendirikan madrasah di kota-kota Islam di Timur Tengah. Namun peran mereka terbatas pada hal-hal yang bersifat administratif, dan tidak ada informasi tentang adanya profesor (Syaikhah) perempuan pada sebuah madrasah (Azra, tt: 80-81).  Dengan demikian, sistem pendidikan madrasah, baik pada tingkat murid maupun guru cenderung sangat membtasai keterlibatan perempuan.

Penutup
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, namun dalam perspektif sejarah  figur perempuan tidak tampil ke depan karena corak penulisan sejarah yang cendrung androsentrik (mengarah ke laki-laki). Padahal peranan perempuan dalam transmisi ilmu pengetahuan sangat besar. Tercatat nama Imam-imam  besar seperti imam Syafi’i dan Ibnu Hajar al-Asqolani yang mendapat sebagian ilmunya dari guru perempuan.  Sebagai contoh satu kitab karya ulama Melayu perempuan yang terkenal adalah “Perukunan Jamaluddin” namun diatasnamakan seorang laki-laki, yaitu pamannya sendiri

Daftar Pustaka
Al-Qur’an al- Karim
Ahmed, Muniruddin, Islamic  Education and the Scholar’s Social Status upto   5 th Century Muslim Era ( 1 Th Century Christian Era ) in Light of Tarikh Baghdad.  Verlag: Der Islam Zurich, 1968.
Asrohah, Hanun,  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
Azra, Azyumardi,  “Membongkar Peranan Perempuan dalam Bidang Keilmuan” dalam Safiq Hasyim, (ed)., Kepeimpinan Perempuan dalam Islam, Jakarta, JPPR, tanpa tahun.

Berkey, Jhonatan,  The  Transmisision of Knowkledge in Medievel Cairo : A Social History of Islamic Education, Princeton: Princeton University Press. 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar